Minggu, 20 Mei 2012


                                      Fenomena dan Nasib Orang Malas

 

 Rasa malas selalu saja menjadi alasan untuk semua hal yang tidak kita kerjakan. Orang pun sudah menjadi maklum bila orang beralasan malas. Anehnya orang-orang seakan sudah tidak mempermasalahkan bila orang malas, bahkan di dalam pekerjaan pun begitu, sama saja..

Kalau sudah malas ya.. mau di apakan lagi. Mending gak usah dikasih tanggung jawab, dari pada dikasih juga gak dilaksanakan. Fenomena orang seperti ini, banyak kita jumpai di lingkungan kita. Mereka seolah senang dan terbiasa mematahkan sesuatu kewajiban hanya dengan satu kata tersebut sebagai alasan.
Kan enak, tinggal bilang saja lagi malas, Pak. Lagi gak mood, Pak. Maka si penyuruh juga gak bisa ngapa-ngapain. Palingan dimarahin sebentar, habis itu kan udah.
Bukannya kita semua sudah tahu sama tahu kalau orang malas itu adalah orang yang paling susah disuruh, jadi dari pada dimarahin dan memancing emosi mending kita yang pergi untuk menenangkan emosi kita yang bisa jadi bikin kita sakit.
Hebatnya lagi, kalau di suasana pekerjaan. Memiliki partner kerja yang bawaannya malas, bikin kita terpancing emosi. Besar kemungkinan, beban kerjanya dia malah larinya ke kita. Untuk orang yang gila kerja dan gila promosi sih.. senang-senang saja karena itu kesempatan dan meminimalkan saingan, tapi untuk yang sadar karirnya dah mentok, yang sadar bahwa sekeras apa pun kerjanya, posisi gak bakalan naik, mendapati rekan kerjanya yang malas tentu akan membuatnya secara perlahan jadi malas juga..
Uniknya, lagi kadang yang pemalas ini malah yang beruntung. Saking malas dan susahnya diatur malah bernasib baik dengan diberi load kerja yang lebih enteng, sementara gaji jalan terus kan ya..
Jadi orang malas adalah pilihan hidup. Kalau mau nama dikenal baik ya jadilah orang yang rajin yang bisa diandalkan dan bertanggung jawab. Bila mau hidup kita begitu-begitu saja dan dicibir banyak orang dan tidak bernilai di mata orang, maka jadilah orang yang malas. Tapi, ingat.. apapun yang kita lakukan pasti ada imbalannya di kemudian hari..
                                                              Malas Beribadah ?

activismanis - Pernahkah kita malas untuk pergi ke masjid, khususnya pada waktu shalat isya dan subuh? Atau kini kita sedang mengalaminya? Malas untuk shalat malam walaupun kita sempat terbangun? Mungkin kita perlu melihat sisi lain malas beribadah agar kembali bersemangat menunaikannya.

Syaikh Aidh Al Qarni mencantumkan malas beribadah ini sebagai karakter kelima orang munafik. Dalam bukunya Tsalatsuna 'Alamatan lil Munafiqin, beliau menjelaskan hal itu seraya menampilkan karakter kebalikannya yang dimiliki kaum mukminin, yaitu semangat beribadah.

...dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas... (QS. An-Nisa : 142)

Inilah firman Allah memotret karakter orang munafik. Mungkin orang munafik itu masih menunaikan shalat, namun ia menjalankannya dengan malas. "Orang-orang munafik pada masa dahulu," kata Aidh Al Qarni, "juga mengerjakan shalat bersama Rasulullah, tetapi mereka mengerjakannya dengan malas."

Maka, semestinya kita takut seandainya kita malas beribadah, itu menjadi pertanda kita dihinggapi kemunafikan. Malas beribadah dalam arti yang luas, tidak terbatas pada shalat. Aidh Al Qarni menjelaskan bahwa malas puasa, malas berzikir, malas menghadiri halaqah atau majelis ilmu, dan malas berdakwah juga termasuk tanda kemunafikan, sebagaimana malas shalat.

Sebaliknya, orang mukmin memiliki semangat dan vitalitas dalam beribadah. Rasulullah dan para sahabat menjadi contoh utama dalam hal ini.

Aswad bin Yazid bertanya kepada  Aisyah , "Kapan Rasulullah bangun untuk shalat malam?" Aisyah menjawab, "Beliau selalu bangun jika mendengar ayam berkokok." Aisyah melanjutkan, "Lalu beliau melompat dengan suatu lompatan." (HR. Muslim)

Demikianlah semangat Rasulullah dalam beribadah. Aisyah tidak mengatakan "beliau berdiri", tetapi "beliau melompat." Subhaanallah. Benar-benar menggambarkan vitalitas dalam beribadah.

Para sahabat dan orang-orang shalih terdahulu juga memberikan contoh yang luar biasa. Mereka memiliki semangat, antusias dan vitalitas beribadah; menggambarkan luapan keimanan mereka.

"Urwah bin Zubair biasa shalat sunnah di malam hari,” kenang Ibnu Syaudzab, “dengan menghabiskan seperempat Al-Qur’an.”

“Urwah bin Zubair tidak pernah meninggalkan dzikir malam,” tambah Abdullah bin Muhammad bin Ubaid menguatkan, “kecuali saat kakinya diamputasi.”

"Selama 50 tahun,” kata Abdul Mu’in bin Idris dari ayahnya, “Sa’id bin Musayyab shalat Shubuh dengan wudhu Isya”. Hebatnya lagi, selama 50 tahun itu Sa’id bin Musayyab tidak pernah tertinggal takbiratul ula, juga tidak pernah melihat punggung jama’ah karena tidak pernah berada di shaf kedua.

Dalam hadits Rasulullah yang diriwayatkan Imam Tirmirzi semangat beribadah, khususnya shalat berjamaah dikaitkan langsung sebagai bukti keimanan.

Barangsiapa yang kalian lihat biasa ke masjid, saksikanlah bahwa ia beriman (HR. Tirmidzi dan lain-lain)

Jika demikian halnya, adakah pilihan lain bagi kita selain memerangi kemalasan? Takutlah kita jika kemalasan tidak lain adalah tanda kemunafikan yang menghinggapi kita, meskipun itu adalah nifaq amali.