coretan kecil
oleh Iis Ernawati pada 25 Februari 2012 pukul 14:13 ·
Plagiarisme dan Pendidikan
Oleh : Iis Ernawati
Salah satu isu yang cukup menarik untuk dibahas saat ini adalah plagiarisme. Sebuah masalah yang tak kunjung usai dan malah semakin menjamur tiap harinya. Bak kacang goreng kita sering menjumpai berbagai produk bajakan yang laris diserang pembeli. Entah itu DVD, pakaian, makanan hampir semua barang-barang yang beredar di sekeliling kita adalah produk tiruan. Bahkan tak heran bila nama produk bajakan lebih dikenal masyarakat luas dibanding nama aslinya.
Padahal tindakan meniru dan menjiplak secara terang-terangan merupakan sebuah pelanggaran hak cipta. Para pelopor bisa menggugat si plagiat ke meja pengadilan dan dikenai sanksi denda. Namun, realitanya pembajakan memang sulit dihapuskan. Selain karena faktor ekonomi, faktor kesempatan adanya masyarakat kelas menengah ke bawah sebagai bidikan pasar memang sulit dilepaskan.
Penyalahgunaan kesempatan ternyata tidak hanya merambah dunia ekonomi yang dilakukan oleh para pedagang nakal. Bahkan ironisnya lagi tak jarang kita mendengar isu plagiarisme telah merambah ke dunia pendidikan. Sangat disayangkan, ketika lembaga pendidikan mempunyai visi mencetak generasi kreatif, produktif dan berbudi luhur, namun di sisi lain banyak para pelaku pendidikan yang bertindak melenceng.
Sadar atau tidak kita telah sah menjadi bagian dari dunia pendidikan dan ikut-ikutan terjerumus ke dalam lembah pembajakan. Bahkan, tidak sedikit mahasiswa Indonesia, kota Jogja khususnya terlibat masalah penjiplakan. Apalagi didukung dengan adanya tingkat teknologi yang kian canggih, internet misalnya. Tak masalah, apabila kita mengambil atau mengunduh hasil ciptaan orang. Alangkah baiknya kemudahan itu kita gunakan dengan bijak melalui penghargaan terhadap penciptanya dengan menyantumkan sumber atau nama penulis. Juga dengan memanfaatkannya secara bertanggung jawab, mengunduh tetapi bukan mengakui melainkan untuk memperkaya keilmuan dalam belajar.
Sayangnya, banyak pelajar terlampau terlena dengan kemudahan ini. Mereka menjadi semakin manja dan tak mau bersusah-susah payah menyelesaikan pekerjaannya sendiri. Alih-alih memanfaatkan teknologi membuat mereka malas berpikir. Padahal secara tak langsung mereka melakukan pembodohan diri. Pembodohan massal yang lambat laun mematikan kreatifitas serta ide original yang sebetulnya mereka punyai. Bukankah itu sebuah ironi yang disayangkan? Disaat dunia luar dengan gencar menghegemoni sektor-sektor penting dan budaya kita, kita malah terjun langsung dan bunuh diri dengan mengikuti permainan pasar yang menyesatkan. Ikut tenggelam dalam arus yang seolah-olah dibenarkan padahal salah. Jika sudah begitu tak heran bila masyarakat kita mudah dibodohi. Tumbuh menjadi generasi pengekor yang bangga dengan budaya lain, lebih gandrung pada pemikiran dan karya orang atau dunia luar. Mau memiliki pegangan apa lagi jika kita malas menggunakan anugerah Tuhan berupa akal pikiran yang terus-menerus disandarkan dan tidak dipergunakan?
Saking marak dan telah terbiasanya lambat laun mengikis salah satu budaya kita yakni budaya malu. Dengan bangganya kita memamerkan karya orang lain, dengan beraninya kita mengaku sebuah karya sebagai hasil pemikiran pribadi. Maka tak jarang banyak ditemukan sekeliling kita tugas-tugas akhir, skripsi bahkan naskah opini ternyata merupakan sebuah salinan dari karya orang lain. Lalu, dimanakah rasa malu dan bersalah itu? Bukankah sekecil apapun kebohongan adalah sebuah kejahatan?
Lewat kecanggihan teknologi kita sedang diuji. Rupanya, masyarakat kita masih terbilang belum siap menghadapi perubahan zaman. Belum dapat mendayagunakan teknologi secara maksimal untuk bekal sebuah pemikiran. Alangkah baiknya kita mulai berpikir dan menanyakan pada diri sendiri. Layakkah aku dikatakan sebagai bagian dari civitas akademika yang identik dengan bakat intelekual itu? Sebagai agen perubahan sosial yang siap menghadapi tuntutan zaman apapun yang terjadi? Coba pertanyakanlah pada nurani masing-masing. Sanggupkah aku berubah?
Sedikit coretan pengganjal makan siang, semoga bermanfaat^^
Yogyakarta, 25 Februari 2012
(12:32)
Oleh : Iis Ernawati
Salah satu isu yang cukup menarik untuk dibahas saat ini adalah plagiarisme. Sebuah masalah yang tak kunjung usai dan malah semakin menjamur tiap harinya. Bak kacang goreng kita sering menjumpai berbagai produk bajakan yang laris diserang pembeli. Entah itu DVD, pakaian, makanan hampir semua barang-barang yang beredar di sekeliling kita adalah produk tiruan. Bahkan tak heran bila nama produk bajakan lebih dikenal masyarakat luas dibanding nama aslinya.
Padahal tindakan meniru dan menjiplak secara terang-terangan merupakan sebuah pelanggaran hak cipta. Para pelopor bisa menggugat si plagiat ke meja pengadilan dan dikenai sanksi denda. Namun, realitanya pembajakan memang sulit dihapuskan. Selain karena faktor ekonomi, faktor kesempatan adanya masyarakat kelas menengah ke bawah sebagai bidikan pasar memang sulit dilepaskan.
Penyalahgunaan kesempatan ternyata tidak hanya merambah dunia ekonomi yang dilakukan oleh para pedagang nakal. Bahkan ironisnya lagi tak jarang kita mendengar isu plagiarisme telah merambah ke dunia pendidikan. Sangat disayangkan, ketika lembaga pendidikan mempunyai visi mencetak generasi kreatif, produktif dan berbudi luhur, namun di sisi lain banyak para pelaku pendidikan yang bertindak melenceng.
Sadar atau tidak kita telah sah menjadi bagian dari dunia pendidikan dan ikut-ikutan terjerumus ke dalam lembah pembajakan. Bahkan, tidak sedikit mahasiswa Indonesia, kota Jogja khususnya terlibat masalah penjiplakan. Apalagi didukung dengan adanya tingkat teknologi yang kian canggih, internet misalnya. Tak masalah, apabila kita mengambil atau mengunduh hasil ciptaan orang. Alangkah baiknya kemudahan itu kita gunakan dengan bijak melalui penghargaan terhadap penciptanya dengan menyantumkan sumber atau nama penulis. Juga dengan memanfaatkannya secara bertanggung jawab, mengunduh tetapi bukan mengakui melainkan untuk memperkaya keilmuan dalam belajar.
Sayangnya, banyak pelajar terlampau terlena dengan kemudahan ini. Mereka menjadi semakin manja dan tak mau bersusah-susah payah menyelesaikan pekerjaannya sendiri. Alih-alih memanfaatkan teknologi membuat mereka malas berpikir. Padahal secara tak langsung mereka melakukan pembodohan diri. Pembodohan massal yang lambat laun mematikan kreatifitas serta ide original yang sebetulnya mereka punyai. Bukankah itu sebuah ironi yang disayangkan? Disaat dunia luar dengan gencar menghegemoni sektor-sektor penting dan budaya kita, kita malah terjun langsung dan bunuh diri dengan mengikuti permainan pasar yang menyesatkan. Ikut tenggelam dalam arus yang seolah-olah dibenarkan padahal salah. Jika sudah begitu tak heran bila masyarakat kita mudah dibodohi. Tumbuh menjadi generasi pengekor yang bangga dengan budaya lain, lebih gandrung pada pemikiran dan karya orang atau dunia luar. Mau memiliki pegangan apa lagi jika kita malas menggunakan anugerah Tuhan berupa akal pikiran yang terus-menerus disandarkan dan tidak dipergunakan?
Saking marak dan telah terbiasanya lambat laun mengikis salah satu budaya kita yakni budaya malu. Dengan bangganya kita memamerkan karya orang lain, dengan beraninya kita mengaku sebuah karya sebagai hasil pemikiran pribadi. Maka tak jarang banyak ditemukan sekeliling kita tugas-tugas akhir, skripsi bahkan naskah opini ternyata merupakan sebuah salinan dari karya orang lain. Lalu, dimanakah rasa malu dan bersalah itu? Bukankah sekecil apapun kebohongan adalah sebuah kejahatan?
Lewat kecanggihan teknologi kita sedang diuji. Rupanya, masyarakat kita masih terbilang belum siap menghadapi perubahan zaman. Belum dapat mendayagunakan teknologi secara maksimal untuk bekal sebuah pemikiran. Alangkah baiknya kita mulai berpikir dan menanyakan pada diri sendiri. Layakkah aku dikatakan sebagai bagian dari civitas akademika yang identik dengan bakat intelekual itu? Sebagai agen perubahan sosial yang siap menghadapi tuntutan zaman apapun yang terjadi? Coba pertanyakanlah pada nurani masing-masing. Sanggupkah aku berubah?
Sedikit coretan pengganjal makan siang, semoga bermanfaat^^
Yogyakarta, 25 Februari 2012
(12:32)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar